Sabtu, 15 Agustus 2009

Beberapa baris tentang barisan OSPEK

Hembusan udara dingin dari mesin air conditioner di ruang kuliah pada salah satu fakultas termuda di Universitas Hasanuddin ini, sudah cukup untuk membuat hampir semua anak muda dengan kepala botak itu, lelap dalam tidur di sela-sela celoteh senior mereka. Karisma senior yang mengangkang di depan mereka tampaknya tak cukup untuk membuat melek mata yang lelah akibat begadang mempersiapkan perlengkapan yang tak kalah ramenya dengan perlengkapan seorang badut. Teriakan dan hentakan pada meja sesekali membuka kelopak mata yang hitam dan serta-merta kebisuan menyelimuti ruangan. Setelah ketegangan mereda, senior tersebut kembali mengoceh ke sana kemari, mulai dari heroisme mahasiswa sebagai agent of change hingga dongeng tentang kebesaran kampus merah Unhas. Ritual ini terus berlangsung tiap kali kampus kedatangan mahasiswa baru (maba) dan selalu diwarnai dengan intimidasi, pemaksaan, tindak kekerasan, pemerasan hingga kadang-kadang pelecahan. Skenario yang entah siapa yang pertamakali merancangnya terus diperankan dengan sempurna oleh semua panitia dan seni-or, polanya sama, hanya berganti person yang akan memerankan berbagai karakter skizofrenik, tergantung angkatan berapa yang punya giliran mainkan lakon ini.

Kampus sebagai dapur tempat meramu berbagai materi ilmiah dan melahirkan banyak pribadi intelktual, tenyata sampai saat ini masih terjebak dalam ritual kuno berbau feodal yang sudah lama ditinggalkan peradaban tempat ia dibesarkan selama ini. Ospek yang kental aroma perpeloncoannya tidak lain mengadopsi ritual purba yang dilakukan oleh Suku Thonga di Afrika Selatan, salah satu suku tertua yang masih memelihara tradisi perpeloncoan untuk anak lelaki yang ingin mendapatkan pengakuan sebagai seorang lelaki dewasa. Ketika seorang bocah telah berusia antara 10 hingga 16 tahun, dia dikirim oleh orang tuanya di “curcumcision school” yang diselenggarakan tiap 4 atau 5 tahun sekali. Ritual inisiasi ini dimulai dengan berlarinya setiap bocah dalam garis panjang yang di sana telah berbaris para lelaki dewasa yang akan memukuli mereka dengan tongkat kayu di sepanjang perjalanan. Di akhir perjalanan, baju sang bocah akan dilucuti dan rambutnya dicukur habis. Dia lalu harus menjalani tiga bulan masa inisiasi untuk menjalani enam ujian utama: dipukuli (oleh lelaki dewasa yang telah dilantik), bertahan dalam cuaca dingin tanpa baju dan selimut, kehausan, makan makanan yg sungguh tak enak & layak, dihukum (semisal dengan meremukkan jari ketika ketahuan melanggar aturan), dan terancam tewas selama menjalani ritual. Semua ritual ini dimksudkan untuk mempersiapkan anak yang bernjak dewasa ini untuk maju di medan perang. Apakah mahasiswa memang dipersiapkan untuk melatih kekuatan fisiknya di medan laga? Sama sekali tidak, kampus bukanlah medan peperangan dengan bau amis darah dan terror teriakan musuh yang menahan rasa sakit tertusuk tombak.



Aksi kekerasan yang beramai-ramai dilakukan oleh orang dewasa dalam ritual suku Thonga sangat mirip dengan pemukulan yang kerap dilakukan senior di sela-sela rangkaian kegiatan Ospek. Pencukuran rambut yang dilakukan setelah tindakan pemukulan dalam salah satu segmen ritual kepunyaan suku di afrika ini, juga dilakukan oleh panitia pelaksana ospek kepada maba. Upacara merendam maba saat bina akrab pun mirip dengan tujuan ritual “curcumcision school” yang melucuti baju bocah dan dibiarkan nginap di alam terbuka yaitu membuat maba dan bocah tersebut kedinginan. Ospek sungguh bagai sebuah sirkus modern dengan menganut gaya usang ala Thonga.



Hal ini kian diperparah dengan kemiskinan metode dalam mengelola acara penyampaian materi ospek yang mutlak sama seperti penyampaian materi kuliah yang membosankan oleh dosen. Kegiatan ini masih berupa cetak biru dari proses perkuliahan yang berjalan satu arah, di mana ada pemateri yang berceramah dengan berapi-api sementara pesertanya (maba) terus mendengarkan dengan jemu dan terus berharap ini akan segera berakhir. Penempatan figur tunggal sebagai sumber referensi satu-satunya dalam kelas terbukti hanya menyisakan sedikit bekas di kepala peserta. Hal ini didukung oleh tata letak komponen kelas yang mengikuti gaya mengajar yang telah 9 tahuh telah dicicipi peserta. Pemateri yang letaknya didepan ruang kelas yang berhadapan dengan peserta menciptakan ketidaksetaraan yang menimbulkan kepasifan pada peserta. Kepasifan tak menghasilkan apa-apa selain bau mulut pemateri yang menghiasi ruang kelas. Walaupun pemateri mencoba membuka kesempatan bertanya, tetap saja di bawah kondisi fisik yang minim dan intimidasi senior, pertanyaan yang muncul tidak betul-betul hadir oleh rasa keingin tahuan peserta, tetapi berasal dari “power of kekepet”, untuk mengakhiri adegan gila ini.



Rutinitas tahunan ini harus segera diakhiri atau paling tidak, dipaksa untuk menemukan bentuk barunya yang lebih “fun”. Karena mahasiswa sebagai pilar utama eksisnya kampus yang ilmiah, tidak pantas mempraktekkan ritual kuno yang tak jauh beda dengan latihan militer. Kita bukan angkatan bersenjata yang dilatih hanya untuk menerima komando dari atasan. Otak yang kita miliki selayakya digunakan untuk menalar sesuatu, kritis terhadap sebuah kondisi, dan menstimulus perlawanan terhadap ketimpangan yang terjadi. Hasrat destruktif mestinya dibebaskan untuk menghacurkan belenggu otoritas yang sok mengatur diri kita. Aksi kekerasan dan intimidasi oleh senior tak lebih dari tindakan seorang “banci”, yang tak mampu memerdekakan hasratnya ketika ditindas oleh seniornya dahulu, dan kini ia mendapat momen yang tepat untuk melampiaskannya kepada maba, sunguh pengecut! Kampus tak butuh itu semua! Kampus butuh teriakan suara lantang di jalanan, sebotol bensin dilengkapi sumbu, spanduk membentang panjang, dan batu yang disiapkan untuk mendarat di kepala babi berseragam coklat.(fhr_ald)

Kamis, 13 Agustus 2009

Resensi film : Ikigami*

Pemerintah Jepang turut andil dalam pelaksanaan sebuah program di mana warga negara yang beumur di bawah 24 tahun, yang memenuhi syarat akan dipilih secara acak, untuk ditentukan hari kematiannya. Sampai pada umur 24 tahun, Kengo Fujimoto diangkat sebagai salah satu dari sekian banyakpekerja yang bertanggung jawab untuk menangani Ikigami, atau surat kematian, memberitahu orang yang hanya tinggal menyisakan umur satu hari atau 24 Jam untuk hidup. Ini hanya cuplikan, walaupun begitu, cara kematian ini sebenarnya disebabkan oleh nanokapsul yang disuntikkan pada waktu masih kanak-kanak. Nanokapsul ini hinggap pada pembuluh darah arteri menunggu diaktifkan oleh pemerintah untuk meledakkan pembuluh darah si korban. Fujimoto sangat menentang aturan ini, tetapi ia tidak dalam posisi yang tepat untuk bisa berbicara lantang melawan hal ini. Malahan ia melanjutkan pekerjaannya seperti diharapkannya. Saat menjalankan tugas ia harus berhadapan dengan berbagai respon emosional dari korban yang mengetahui bahwa umurnya tinggal 24 jam. (film.com)


*ditranslate seadanya dari film.com
sy punya kopian filmya, formatnya .avi, subtitle yg ada baru english, carikan dule bahasa indonesianya...


-film ini membutikan bahwa negara memang berbahaya bagi dirimu!-

Rabu, 12 Agustus 2009

Embrio tentang: Nurdin M Top Vs Petani Polongbangkeng Takalar di Ring Tarung Media Lokal

Celoteh tentang “netralitas media”, “….. di garis tak berpihak”, bla..bla..bla…yang tiap hari disodorkan kepadamu di teras rumah, menemani secangkir kopi yang kau minimum, tinggal jargon palsu belaka. Sekali lagi, anggapan bahwa media massa hari ini hanya jadi “loudspeaker” P2 (penguasa+pemerintah) bukan isapan jempol belaka. Hampir disepanjang minggu awal bulan agustus ini, ruang keluargamu dibom-bardir oleh berita tentang perburuan teroris (apa..binatang kapang) melaui televisi, surat kabar lokal juga tak mau kalah, headline yang ditampilkan sepanjang pecan ini juga tentang t-erorr-isme. Sementara peristiwa yang tak kalah dahsyatnya dengan ledakan bom yang nun jauh di sana, terjadi di takalar, sulsel dan media lokal hanya memberitakannya dihalaman belakang dengan porsi yang sangat sedikirt. Ya! Petani Polongbangkeng yang setelah 28 tahun tanahnya “dijarah” oleh PTPN Nusantara 14, perusahaan perkebunan Negara yang tak kalah rakusnya dengan korporsi swasta, menolak memperpanjang kontrak sewa tanah mereka kepada PTPN 14 dan terlibat “perang” dengan polisi. Hahaha..di mana-mana korporasi sama saja, mau swasta, mau milik negara sama saja corak dan relasi produksinya.

Hari ini Rabu 12 Agustus 2009 kembali ku tengok surat kabar lokal, berharap ada berita terbaru dari petani Puolongbangkeng. Lagi-lagi headline tentang pelaku t-erorr yang sudah terungkap identitasnya. Sementara berita tentang Polongbangkeng hanya berupa konfirmasi Pemprov dan kepolisian tentang penarikan pasukan dari tanah sengketa, itupun di sisispkan jauh di halaman belakang yang hampir luput dari pandanganku. Jika berbicara dalam konteks kaidah jurnalistik, dalam hal ini nilai berita, poin tentang proximitas berita tentunya akan dimenangkan oleh Petani Polongbangkeng dalam pertarungannya di meja redaksi. Tetapi sebagai agen propaganda P2, media akhirnya secara tidak fair memenangkan t-erorr-is Nurdin M Top dkk di pada sesi perebutan headline yang akan dimuat di halaman paling depan Koran lokal di kota ini.

Mengapa hampir tiap hari berita tentang Nurdin M Top dkk selalu mendapat porsi yang besar dalam jam tayang pemberitaan ataupun halaman utama sebuah surat kabar? Mengapa berita tentang t-error-is ini selau diteriakkan berulang-ulang ke telinga kita? Hahaha..Pernah dengar pepatah tua yang bunyinya : “Kebohongan yang selalu dikabarkan berulang-ulang pada akhirnya akan menjadi sebuah kebenaran baru”? Itu dia, Nurdin M Top tak lebih hanyalah tokoh hayalan seperti fabel aladin dari Irak, yang terus diberitakan hingga tokoh ini menjadi hidup di tengah masyarakat kita. Dengan hendak menutupi ketidakbecusannya mengelola negara ini, t-erorr bom dihadirkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada negara sebagai tempat berlindung yang aman dari serangan teororis dan semacamnya. Sementara kasus tanah antara pemerintah (PTPN 14) dan warga asli Polongbangkeng sengaja ditutup-tutupi oleh pemerintah untuk menghindari simpati masyarakat pada warga Polongbangkeng yang mempertahankan tanah miliknya dengan parang dan tombak melawan sekompi Brimob lengkap dengan senjata api yang dibeli dari pajak yang mereka bayarkan sendiri pada pemerintah.

Pengepungan terhadap raja t-erorr-is Nurdin M Top oleh Datasemen 88 hanyalah sandiwara belaka. Pengepungan sebenarnya terjadi di Polongbangkeng, Kabupaten Takalar. Warga dikepung oleh Pemerintah, PTPN, Media Massa, dan Polisi yang besekongkol untuk memuluskan jalan merebut tanah warga yang menjadi satu-satunya penopang hidup mereka. Warga Polongbangkeng “need back up” dalam perjuangannya melawan persekongkolan itu. Warga Polongbangkeng butuh dirimu, agar kau bisa tercerabut dari sandiwara yang terus kau ulangi setiap harinya!

Senin, 10 Agustus 2009

Shoplifting: Manifestasi Pribadi Aneh di Tengah Masyarakat yang Sakit

Seattle tahun 1999 mencuri perhatian masyarakat dunia terutama dari golongan korporasi raksasa dan lembaga-lembaga keuangan dunia serta elit negara-negara di dunia. Aksi protes yang dilancarakan oleh ribuan orang terhadap kekejaman sistem kapitalime yang tengah menggerogoti dunia, tidak hanya membuat kaget kaum borjuasi dan arsitorkrat negara-negara maju, tetapi juga golongan yang di sebut oleh Simon Tormey sebagai masyarakat anti kapitalisme. Bagaimana tidak?tanpa komando dan arahan dari sebuah organisasi politik mapan, ribuan orang berkumpul dan melakukan berbagai kegiatan di jalanan dan meneriakkan kecaman terhadap pertemuan yang dilakukan oleh petinggi-petinggi negara yang tergabung dalam G8 yang tidak lain merupakan pertemuan yang membicarakan strategi yang mujarab untuk terus menggemukkan banyak korporasi raksasa dan memiskinkan hampir seluruh populasi di bumi ini. Masyarakat dunia yang tidak termasuk dalam golongan-golongan di atas juga bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang mereka lewatkan ketika tenggelam dalam rutinitasnya sehari-hari? Apakah ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah mereka? Jawabanya hanya satu, bumi ini tengah sekarat dihisap oleh kerakusan sistem besar yang dinamakan “kapitalisme”.

Sejak dicetuskan oleh founding father-nya Adam Smith beberapa abad yang lalu, sistem ekonomi kapitalisme perlahan-lahan tetapi pasti menjadi sistem tunggal yang diamini hampir seluruh negara didunia. Dalam perjalannya,sistem ini sama sekali tidak mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat di negara yang terang-terangan ataupun malu-malu mengakui memakai sistem ekonomi ini. Setengah dari populasi manusia di bumi hanya berpenghasilan kurang dari 2 dollar perhari, 34.000 anak mati setiap harinya akibat kemiskinan dan penyakit. Hal ini seiring sejalan dengan kepemilikan 40% kekayaan bumi oleh 1% populasi bumi yang disebut sebagai kaum borjuasi atau pemilik modal. Kondisi ni semakin hari semakin memburuk dan kita hanya punya dua pilihan, melawan untuk mengakhirinya atau tetap berpura-pura menikmati rutinitas keseharian yang membosankan.

Cara-cara melawan kapitalisme telah banyak dipraktekkan oleh masyarakat anti kapitalisme, mulai dari kelompok reformis yang menginginkan kehadiran isntitusi tunggal di bumi untuk “mengalirkan” keuntungan yang diperoleh kaum kapitalis ke seluruh masyarakat bumi. Ada kaum kiri yang dengan tegas menolak sistem kapitalisme dan mendorong sistem ekonomi sosialis yang diyakani mengakhiri kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Juga ada kelompok anarkis yang menolak kehadiran otoritas atau negara yang menjadi penopang kehidupan sistem kapitalisme. dan ada kelompok enviromentalis yang mengecam kerakusan kapitalisme menghisap sumber daya bumi untuk dikomodifikasi dan pada akhirnya mendatangkan bencana ekologis bagi planet ini. Berbagai kelompok dengan bermacam-macam cara pandang ini memiliki kesamaan dalam satu hal, melawan kekuatan korporasi di atas payung besar yang disebut sistem kapitalisme.

Pertanyaan selanjutnya, apakah kita harus masuk dalam salah satu kelompok tersebut untuk melawan kapitalisme? Kelompok-kelompok dengan ideologi yang dibawanya bukan pajangan di etalase toko yang bisa kita pilih jika sesuai selera. Dengan tidak bermaksud menggurui, hal penting yang mesti dilakukan adalah membuka wawasan seluas-luasnya tentang perkembangan mutakhir kapitalisme dan berdiskusi dengan saudara, teman, pacar dan keluaga tentang hal ini. Dan “ceriakan harimu” dengan aksi yang mengancam kemapanan kapitalisme untuk mengisi kemonotonan hidup yang kita jalani. Teriak-teriak di jalan dengan teman-teman, sabotase fasilitas umum, jika perlu praktekkan apa yang dilakukan oleh Tyler Durden dalam film Fight Club (tetapi sebelumnya baca dulu Direct action) dan jadilah manusia seutuhnya. Karena tak ada jalan keluar dari labirin pabrik sosial yang berdinding aturan hukum, nilai, norma dan agama palsu -yang entah karena alasan rasional apa kita mematuhinya-, selain menghancurkannya.

Shoplifting merupakan salah satu aksi yang paling memungkinkan untuk dicoba sendiri. Sekedar informasi, istilah shoplifting berasal dari zaman purba Babel. Ribuan tahun lalu pun kaki lima dan pedagang sudah ada. Di Babel orang berjualan barang dari tenda. Ketika pencuri hendak mencuri, tenda itu diangkat bulat-bulat dan dibawa lari. Istilah “shoplifting” atau ‘mengangkat toko’ berarti bahwa barang jualan dicuri atau dibawa lari. Aksi ini dimaksudkan untuk merusak sirkulasi komoditas yang dijual di toko-toko tetapi lebih sering pada pusat perbelanjaan atau wall mart yang memiliki omset seharinya jauh melebihi gaji seluruh karyawannya selama setahun bekerja. Sirkulasi komoditas yang kegiatan utamanya adalah proses jual beli merupakan pengejawantahan rumus umum kapital yaitu U-B-U (uang-barang-uang) di mana surplus value –yang semu- tercipta. Uang ditambah uang dari surplus value merupakan cikal-bakal pembentukan kapital sebagai elemen vital bagi sistem ekonomi kapitalistik.

Mungkin aksi ini akan hanya dimaknai oleh masyarakat kita hari ini sebagai tindakan kriminal biasa yang dapat dijelaskan oleh logika hukum formal ataupun norma yang menyatakan ini melanggar hukum dan etika dalam kebudayaan kita. Pelakunya akan langsung dihukum dengan menggunakan kedua referensi di atas, yang pertama akan dijebloskan dipenjara selanjutnya masyarakat akan mengucilkan atau mencurigai setiap gerak-gerik ex-pelaku yang dianggap dapat mengancam keamanan lingkungan. Ya! Kita hanya perlu menjadi orang aneh di tengah masyarakat yang sakit ini, agar tercerabut dari rutinitas gila ini. Ataupun aksi ini hanya dianggap aksi yang sama sekali tidak dianggap membahayakan sistem kapitalisme oleh “kaum revolusioner” dengan analisa ekonomi politiknya yang mumpuni.

Tetapi, pada 23 desember 2008 sebuah artikel surat kabar Pittsburgh Post-Gazette memberitakan sebuah supermarket bernama Dimperio's Market tutup akibat dari aksi shoplifter. Perusahaan retail ini melaporkan bahwa shoplifting mengakibatkan hilangnya 0,6% jumlah barang yang dijual pada supermarket ini. Pada tahun 2001, shoplifting mengakibatkan kerugian perusahaan retail di amerika serikat hingga 25 miliar dollar setiap harinya. Di jepang, aksi shoplifting meningkat hingga 40% pada tahun 2009 ini, meningkat 11,5 poin dibandingkan survei terakhir pada bulan Februari 2008. Dan yang lebih mencengangkan adalah 20.4 % dari jumlah pelakunya adalah ibu rumah tangga. Saya tidak yakin ibu rumah tangga ini pernah mengonsumsi kajian ekonomi politik sebelumnya. Karena alasan mereka melakukannya adalah untuk memenuhi hasrat terhadap barang tersebut yang setiap hari dijejalkan di kepala mereka melalui iklan di TV, koran, majalah dan di berbagai sudut kota.

Jadi anggapan bahwa shoplifting tidak mengancam sistem kapitalistik tidak tebukti, sebuah perusahan akhirnya bubar karena aksi “shoplifter revolusioner”, sama seperti buruh yang dikatakan oleh marx sebagai kelas yang paling revolusioner yang mampu menggerakkan perubahan yang radikal. Di dalam pabrik sosial seperti sekarang ini, semua orang adalah agen revolusioner, karena setiap orang adalah subjek tertindas yang terus dieksploitasi oleh sistem maut ini. Tidak hanya buruh, ibu rumah tangga, siswa SMP, pengangguran, semuanya turut berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memapankan sistem ini. Penghisapan sumberdaya alam dan sumber daya diri kita, terus berlangsung tanpa henti di tiap detiknya.

Cerita tentang shoplifting tidak hanya dimiliki jepang dan amerika, di kota ini, Makassar aksi ini bahkan lebih spektakuler dibanding jepang dan amerika. Bagaikan aktor-aktor yang beraksi dalam mahyem project, karyawan dan pengunjung sebuah retail besar di kota Makassar melancarkan aksi shoplifting dengan sangat rapi dan terencana, bahkan untuk berkomunikasi mereka memakai semacam kode-kode ataupun bahasa sandi. Beberapa kali aksi ini diketahui oleh pihak perusahaan, namun tidak sampai mengunggkap jaringan mereka. Tentu saja aksi shoplifter ini mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi perusahan retail raksasa ini, karena berlangsung di tiap kehadiran pengunjung yang aslinya adalah shoplifter.

Shoplifting hanyalah aksi mencuri kembali apa yang telah dicuri sebelumya oleh kelas pemodal dan penguasa. Sejatinya aksi ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan hasrat konsumtif hasil manipulasi sistem kapitalsme mutakhir. Karena semua barang yang dihasilkan adalah dari sumberdaya bumi yang yang dihisap tanpa ampun oleh korporasi, maka hal yang wajar jika mencuri dilakukan, sebab tak seorang pun mau mati seperti tikus dalam lumbung padi. Pemberontakan harus terus berlanjut, segala konsekuensi darinya adalah hal nikmat yang memacu adrenalin dan membebaskan hasrat liarmu. Lipatgandakan dirimu karena “Tulisan ini adalah untuk kalian yang masih berkeinginan untuk membelah diri di bumi yang sudah penuh sesak ini. Ingat, kita tidak sekecil amoeba!” –Vagina Dentata-.(fhr_ald)

Minggu, 26 Juli 2009

Teror Tabung Elektron di Rumahmu

“Than I’m better off on my own”, potongan lirik lagu dari sum 41 yang berjudul pieces begitu nikmat kudengar, apalagi kali ini lengkap dengan visualisasinya berupa video klip yang baru saja ku download dari youtube. Sudah ke sekian kalinya video klip ini kuputar, dan mengajakku bertanya-tanya apa pesan yang hendak disampaikan olehnya. Sebuah mobil box transparan nampak melenggang mulus di jalan licin ditengah malam yang dingin. Pada box transparan itu tampak beberapa orang (tampak sebuah keluarga utuh) berperan sebagai sebuah keluarga dengan berbagai macam aktivitas khas kaum urban modern. Mulai dari berjemur di pantai untuk mendapatkan kulit dengan warna gelap, sampai acara makan malam yang sempurna dilengkapi perbincangan hangat khas sebuah kelurga ideal. Hal yang dapat kumengerti dari video ini, bahwa ciri dari sebuah keluarga yang sempurna adalah apa yang dipergakan oleh orang-orang dalam box transparan dalam mobil tersebut.

Jika dalam videoklip ini model refensi tunggal akan syarat sebuah keluarga ideal adalah pada apa yang dipertontonkan oleh orang-orang yang ada dalam box tersebut, maka dalam masyarakat kita hari ini sebuah “tabung elektron” yang dijuluki televisi adalah sumber kebenaran tunggal dari setiap hal yang ingin dilakukan ditiap harinya. Tak pelak lagi hampir di semua rumah mulai dari yang mewah berdindingkan granit sampai rumah kumuh di pinggir kali yang hanya terbuat dari kertas kardus bekas menyediakan space bagi tabung berwana ini. Televisi sebagai sebuah produk dari teknologi peradaban modern mampu mendikte pemirsanya (komunikan) tanpa memandang latar belakang atau kelas sosial dari komunikannya tersebut. Melalui acara-acara yang disajikan ditiap harinya, imaji-imaji tentang kehidupan “yang semestinya” disuntikkan secara bertubi-tubi kepada khalayak ramai dan melahirkan keseragaman kebudayaan, baik penampilan, tingkah laku, pemikiran sampai jenis celana dalam yang harus kita gunakan.
Saat sebuah stasiun televisi menayangkan satu acara info-tai-men yang mewawancarai seorang artis tentang gaya rambut mutakhirnya, saat itu pula kode imaji yang dikirimkan oleh tayangan tersebut tentang trend model rambut paling mutakhir, direkam oleh komunikan kemudian berusaha untuk mematerialkan imaji tersbut. Hal ini tampaknya berlaku bagi hampir semua komunikan yang menonton acara tersebut, apalagi jika figur artis yang ditampilakan adalah seorang remaja, maka berbondong-bondonglah komunikan remaja meniru gaya rambut artis tersebut. Dapat dikatakan bahwa, di bawah kontrol “tabung elektron” ini masyarakat menganggap tayangan tersebut adalah sebuah realitas, sementara dirinya adalah ilusi dari ketidaksempurnaan, hasil persepsi dari realitas semu yang dihadirkan televisi. Baudrillard dalam tulisannya tentang simulacrum mengungkapkan empat fase dari proses pengaburan antara imaji dan realitas yaitu [1] imaji merefleksi realitas dasar, [2] imaji menutupi dan merusak realitas dasar, [3] imaji menutupi ketiadaan realitas dasar dan [4] imaji menghasilkan ketiadaan hubungan dengan realitas apapun: ini murni merupakan simulcarum.

Televisi (varian dari teknologi informasi) merupakan ciri dan penopang bagi eksisnya peradaban modern pascaidustrial. Dalam era kapitalisme lanjut seperti sekarang ini, pencitraan akan sebuah produk akan menentukan apakah produk tersebut akan diminati oleh pasar atau tidak. Tak heran jika alokasi dana untuk membiayai iklan sebuah produk lebih besar dibandingkan alokasi bagi gaji seluruh buruh yang dipekerjakan untuk menghasilkan produk tersebut. Melalui iklan yang ditayangkan di televisi, citra sebuah produk makanan (berbahan dasar ketela pohon) ditanamkan pada komunikannya sebagai satu-satunya makanan ringan yang paling higienis dan bergizi dibandingkan jenis makanan yang sama yang dibuat sendiri atau oleh industri rumahan yang tidak beriklan. Pernahkah kita bertanya mengapa iklan terus ditayangkan berulang-ulang di setiap jeda acara yang sedang kita tonton? Repetisi atau pengulangan akan sebuah kebohongan pada akhirnya akan diterima sebagai sebuah kebenaran baru, terlepas dari kondisi objektifnya. Pada akhirnya produk makanan ringan berbahan dasar ketela yang mengandung banyak bahan perasa sintetis yang tidak baik bagi tubuh jika dikonsumsi berlebihan, yang setiap hari nongkrong di televisi akan lebih diminati ketimbang makananan sejenis yang diolah tanpa bahan sintetis berbahaya tetapi tidak pernah ditampilkan dalam iklan.

Strategi pencitraan yang digunakan oleh kapitalis untuk melariskan produknya, kini juga mulai diadopsi oleh politikus, instansi pemerintah bahkan instusi pendidikan. Berbondong-bondong semua calon presiden mengiklankan dirinya dengan berbagai tampakan di televisi dalam iklan, talkshow maupun debat yang dibuat dengan memakai resep “bersandiwara”. Ada yang menjelaskan multiplitas arti dari inisial namanya yang semuanya refleksi dari ciri pemimpin ideal, ada yang berperan sebagai juru selamat rakyat kecil yang dengan rendah hati menolak ucapan terimakasih dari seorang ibu rumah tangga biasa. Padahal semua calon presiden tersebut merupakan bagian dari pemerintahan lalu yang terbukti gagal membawa aroma kesejahteraan bagi negeri ini. Intitusi pemerintah seperti Depdiknas dengan gencar mempropagandakan sekolah gratis di televisi, sementara hanya 1% dari jumlah seluruh sekolah dasar yang memiliki perpustaakaan yang memadai, belum lagi 200.000 ruang kelas yang tidak layak digunakan untuk proses belajar mengajar, membuktikan iklan ini hanya upaya menutupi ketidakbecusannya dalam mengurusi pendidikan. Institusi pendidikan sebagai dapur produksi pemikiran yang ilmiah juga terjebak dengan logika pencitraan yang menyesatkan ini. Unhas contohnya, yang menggembar-gemborkan jargon “to wards world class university” dengan dukungan tulisan pada bagian belakang kaos pegawai yang dipakai tiap hari jumat “citra unhas 2010”, tak lebih dari sekedar strategi pemasaran produk jasa yang ditawarkan kepada calon pembeli. Pada halaman berita lokal, jargon-jargon di atas kerapkali ditulis berulang-ulang pada tiap berita yang berkaitan dengan Unhas. Padahal realitanya, kondisi laboratorium tempat praktikum sangat mengenaskan, koleksi buku pada perpustakaan yang kurang diperhatikan penambahan koleksi barunya, dan jumlah ruang kelas yang tidak seimbang dengan jumlah mahasiswanya hingga kasus korupsi yang didalangi oleh birokratnya. Semua semboyan tersebut tak lebih dari sekedar politik pencitraan agar “kursi” di unhas laku dijual di pasar.

Televisi yang diterima dengan baik di dalam ruang privasi seseorang juga merupakan penjinak bom “hasrat destruktif” yang handal bagi individu yang teralienasi oleh kerja. Dalam logika pabrik sosial, setiap komponen masyarakat dipandang sebagai “buruh” yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap proses produksi yang dijalankan oleh sebuah perusahaan. Mulai dari pekerja kasar (sering disebut buruh dalam makna sempit), petugas administrasi di perusahaan, dosen, tukang becak hingga ibu rumah tangga termasuk dalam komponen yang mendukung proses produksi kapitalis yang selanjutnya diistilahkan” buruh” dalam konteks pabrik sosial. Jadi keseluruhan komponen ini tergolong sebagai individu-individu yang teraleniasi sepanjang kontribusinya terhadap proses produksi.

Selain sebagai kontributor dalam proses produksi semua individu yang teralienasi juga merupakan pasar yang potensial bagi produk kapitalisme. Produk kapitalisme tidak hanya berupa barang dan jasa yang dijajakan di tiap persinggahan, tetapi juga imaji-imaji yang diproduksi oleh stasiun TV untuk memenuhi hasrat konsumtif dan menjinakkan hasrat destruktif yang merupakan sifat alami dari manusia. Setelah lelah bekerja selama 8 jam, seorang pekerja dengan senang hati menonton televisi yang menawarkan berbagai macam hiburan, di ruang keluarga untuk menghilangkan kebosanannya akan kemonotonan hari yang dijalaninya. Dari sini, siklus produksi dan konsumsi berlanjut dan komunikan akan terus menjadi objek eksplotasi oleh keserakahan kapitalisme.

Jika kehadiran “tabung elektron” ini dianggap sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari tuntutan gaya hidup manusia modern, adakah cara untuk menghindarkan diri dari teror negatif dari “kotak ajaib” ini? Apakah ada sisi positif dari kehadiran televisi di rumahmu? Mengutip pernyataan Drs. Wawan Kuswandi bahwa tujuan dari media televisi seharusnya sebagai alat informasi, hiburan, kontrol sosial dan penghubung geografis, sisi positif televisi mulai tampak diantara tumpukan masalah yang ditimbulkannya. Dengan cepat kita dapat mengetahui bencana tsunami yang dialami masyarakat aceh sehingga kita dengan tanggap mengirimkan bantuan ke lokasi bencana. Manusia sejatinya memiliki minat yang besar terhadap seni sebagai refleksi kejiwaannya. Aktivitas seni dapat diartikan sebagai penciptaan karya seni maupun apresiasi terhadap karya tersebut, terlepas dari keliahan kapitalisme yang mengkomodifikasi seni sebagai bahan jualannya. Untuk aktivitas seni yang terkahir ini biasanya disajikan dalam bentuk hiburan dan dapat dimediasi oleh televisi agar seseorang dapat mengapresiasi seni yang ia sukai. Kita dengan mudah mengetahui ketimpangan pada berbagai aspek yang terjadi di masyarakat dan apa penyebabnya, melalui informasi yang disintesa oleh televisi, yang menjadi referensi awal untuk mengadirkan solusi nyata bagi persoalan tersebut.

Namun pada kenyataannya program-program yang disajikan oleh stasiun televisi pada hari ini jauh dari tujuan yang dipaparkan di atas. Hal ini dikarenakan televisi juga memiliki corak pabrik kapitalisme yang mengutamakan keuntungan di atas segalannya. Sebuah program acara dengan nilai edukasi yang mampu memperluas wawasan tetapi dinilai oleh lembaga survey memilki rating rendah karena rata-rata jumlah pemirsa (audience share) rendah akan dihapuskan dari program acara bahkan pada tataran pengajuan oleh production house (PH)/produser, acara jenis ini akan ditolak, jika pengiklan tidak tertarik memasang iklan pada acara tersebut. Yang terjadi malah sinetron “cengeng”, info-tai-men sampah, reality show palsu dan upacara pemakaman Jacko yang sama sekali tak penting, berjaya pada jam-jam prime time dengan bergelimang iklan, sehingga perkatan seorang kawan “sekarang bukan nonton sinetron diselingi iklan, tapi nonton iklan yang diselingi sinetron” menjadi benar adanya, jika melihat panjangnya durasi iklan ketimbang potongan adegan dari sinetron yang disajikan. Melihat kenyataan ini, saya menjadi sepakat dengan judul sebuah buku “matikan tv mu!”, -kutambahkan-walaupun hanya untuk satu hari saja. Berhenti mengkonsumsi imaji yang tidak pernah ada! Segala yang ada di televisi adalah ilusi dan dirimu adalah realitas sebenarnya! (fhr_ald).

The Matrix dan Jean Baudrillard's "Simulacra dan Simulasi*

The Matrix dengan jelas mengacu pada pemikiran Baudrillard, terutama pada esai yang dibuatnya pada tahun 1983 yang berjudul “Simulacra dan Simulasi”. Baudrillard berasumsi bahwa perkembangan imaji pada kapitalime lanjut, beriringan dengan ekspansi komoditas dan kemajuan teknologi visualisasi dan simulasi yang tak berbelaskasihan. Pada esainya, Baudrillard, menggambarkan sebuah gerakan “representasi” (dari sesuatu yang nyata) ke “simulasi” (dengan tidak mengacu pada kenyataan). Gerakan ini dari yang representasi ke simulasi mengubah relasi antara tanda dan acuan, sehingga kita kehilangan hubungan antara keduanya, sekilas kita mengira keduanya esksis, antara tanda atau imaji dan realitas dimana keduanya menangarah pada ide. Untuk mengembangkan argumen ini Baudrillard mengajak kita untuk memikirkan tentang keadaan dimana proses simulasi dari tanda atau imaji merampas keutamaan dari realitas, perkiraannya seperti dibawah ini:
1. Peta lengkap yang mana menggandakan luas dan tiap detail dari terotori dari sebuah “kerajaan” (dalam perumpaan Borges) : seiring dengan kehancuran kerajaan, fragmentasi dari peta menunjukkan kepingan-kepingan yang dulu besar.
2. Pasien yang mensimulasikan gejala kegilaan dengan baik, dia menyatakan dirinya menjadi gila
3. Simulasi sifat anak-anak dari realitas dan sejarah bahwa Disneyland: menjamin (komparatif) “realitas” dari Los Angeles
4. Simulasi dari drama penyaderaan berubah menjadi nyata ketika seorang sandera mati akibat serangan jantung dan tembakan polisi
5. Imaji yang mengaruskan membantu penganut untuk beribadah kepada tuhan; tetapi penganut ini menyandarkan diri pada imaji ini secara berlebihan sehingga mereka menjadi objek sesungguhnya dari proses peribadatan; oleh karena itu iconoclasts (orang yang menentang. pemujaan patung berhala di kerajaan Byzantum) menyerang imaji sebagai perampasan terhadap kuasa dari keutamaan Tuhan yang sebenarnya.

Berikut ini beberapa kunci dari argumentasi Baudrillard:
“Mengingat representasi mencoba untuk mengabsorbsi simulasi dengan menginterpretasinya sebagai representasi yang salah, simulasi mengembangkan keseluruhan bangunan dari representasi sebagai dirinya Simulacrum. Ini menjadi fase yang berturut-turut dari:
1. Ini merupakan refleksi dari realitas dasar
2. Ini menutupi dan merusak realitas dasar
3. Ini menutupi ketiadaan dari relitas dasar
4. Ini menghasilkan ketiadaan hubungan dengan realitas apapun: ini murni merupakan simulcarum.
Pada poin pertama, imaji merupakan rupa yang baik: representasi merupakan tanda dari sakramen (pengampunan). Pada poin kedua, ini merupakan rupa yang buruk/jahat : tanda dari malefice. Di Poin ke tiga, ini bermain pada nilai sebuah rupa: ini merupakan tanda dari ilmu sihir. Pada poin ke empat, ini tidak lagi menjadi tanda dari rupa secara keseluruhan tetapi merupakan simulasi.”

“Hal di atas mungkin pada dasarnya selalu menjadi imaji yang memiliki kapasitas membunuh: pembunuh kenyataan; pembunuh model mereka sendiri seperti patung suci Byzantine dapat membunuh identitas ketuhanan. Kapasitas membunuh ini menentang kemampuan dari representasi sebagai sesuatu yang kelihatan dan perantara yang jelas dari kenyataan. Semua kepercayaan Barat dan kepercayaan baik bertaut pada pertaruhan reprentasi: bahwa tanda dapat mengacu pada kedalaman makna, di mana tanda dapat menukar makna dan sesuatu yang dapat menjamin pertukaran ini-Tuhan tentunya. Tetapi bagaimana jika tuhan itu sendiri dapat disimulasikan, dapat dikatakan reduksi dari tanda yang membuktikan eksitensinya? Kemudian keseluruhan sistem menjadi tanpa bobot; ini bukan lagi “sesuatu” tetapi sebuah simulacrum raksasa: bukan khayalan, tetapi simulacrum, tidak lagi menukarkan apa yang disebut kenyataan, tetapi menukarkan dirinya sendiri, dalam sebuah sirkuit tak teputuskan tanpa refensi atapun lingakar tautan.

Ketika simualasi memenangkan sebuah otonomi baru, teritori menghilang dibalik peta: “Teritori tidak lagi mendahului peta, maupun mempertahankannya. Untuk selanjutnya, peta yang mendahului teritori-presisi dari simulacra-peta yang menghasilkan teritori dan jika mengkaji dongeng hari ni, tampak bahwa teritori yang mencabik lambat laun membusuk melintasi peta. Ini nyata dan bukan peta, yang sisa hidupnya di sini dan di sana, pada ganjaran yang tidak lagi dari Kerajaan, tetapi dari kita sendiri. Ganjaran dari kenyataan itu sendiri.” Tetapi mungkin keseluruhan dongeng dari peta dan teritori tidak berguna lagi sekarang. “Tidak ada lagi cermin dari keberadaan dan rupa dari kenyataan dan konsepnya, tak adalagi imaji koekstensif: cukup, miniaturisasi genetik yang merupakan dimensi dari simulasi. Kenyataan dihasilkan dari miniaturisasi unit-unit, dari matices , simpanan memori dan model komando—dan dengan ini dapat direproduksi sebuah jumlah tak tentu dari waktu, ini tidak lagi nyata. Ini merupakan hyperreal: produksi dari sintesis irradiate dari model kombinasi pada hyperspace tanpa atmosfir.”

*Semua kutipan bersal dari tulisan Simulacra and Simulations from Jean Baudrillard tahun 1983: Diseleksi untuk dituliskan, (Ed. Mark Poster, Stanford: Stanford University Press, 1988)

Pertanyaan untuk memahami hubungan anatar Baudrllard dan The Matrix
1. Bagaimana The Matrix mengembangkan ide bahwa rupa kenyataan tidak lebih dari sebuah simulasi (imaji yang tidak memiliki acuan pada kenyataan)?
2. Apakah film ini mengembalikan lagi sebuah ide dari realitas yang tandas dibalik simulasi hyperreal? Atau film ini akhirnya meruntuhkan ide stabil dari realitas? Apakah ada alternatif ke tiga?
3. Apakah peranan dari film ini sebagai medium ilusi untuk visualisasi dari simulasi oposisi/realitas?