Minggu, 26 Juli 2009

Teror Tabung Elektron di Rumahmu

“Than I’m better off on my own”, potongan lirik lagu dari sum 41 yang berjudul pieces begitu nikmat kudengar, apalagi kali ini lengkap dengan visualisasinya berupa video klip yang baru saja ku download dari youtube. Sudah ke sekian kalinya video klip ini kuputar, dan mengajakku bertanya-tanya apa pesan yang hendak disampaikan olehnya. Sebuah mobil box transparan nampak melenggang mulus di jalan licin ditengah malam yang dingin. Pada box transparan itu tampak beberapa orang (tampak sebuah keluarga utuh) berperan sebagai sebuah keluarga dengan berbagai macam aktivitas khas kaum urban modern. Mulai dari berjemur di pantai untuk mendapatkan kulit dengan warna gelap, sampai acara makan malam yang sempurna dilengkapi perbincangan hangat khas sebuah kelurga ideal. Hal yang dapat kumengerti dari video ini, bahwa ciri dari sebuah keluarga yang sempurna adalah apa yang dipergakan oleh orang-orang dalam box transparan dalam mobil tersebut.

Jika dalam videoklip ini model refensi tunggal akan syarat sebuah keluarga ideal adalah pada apa yang dipertontonkan oleh orang-orang yang ada dalam box tersebut, maka dalam masyarakat kita hari ini sebuah “tabung elektron” yang dijuluki televisi adalah sumber kebenaran tunggal dari setiap hal yang ingin dilakukan ditiap harinya. Tak pelak lagi hampir di semua rumah mulai dari yang mewah berdindingkan granit sampai rumah kumuh di pinggir kali yang hanya terbuat dari kertas kardus bekas menyediakan space bagi tabung berwana ini. Televisi sebagai sebuah produk dari teknologi peradaban modern mampu mendikte pemirsanya (komunikan) tanpa memandang latar belakang atau kelas sosial dari komunikannya tersebut. Melalui acara-acara yang disajikan ditiap harinya, imaji-imaji tentang kehidupan “yang semestinya” disuntikkan secara bertubi-tubi kepada khalayak ramai dan melahirkan keseragaman kebudayaan, baik penampilan, tingkah laku, pemikiran sampai jenis celana dalam yang harus kita gunakan.
Saat sebuah stasiun televisi menayangkan satu acara info-tai-men yang mewawancarai seorang artis tentang gaya rambut mutakhirnya, saat itu pula kode imaji yang dikirimkan oleh tayangan tersebut tentang trend model rambut paling mutakhir, direkam oleh komunikan kemudian berusaha untuk mematerialkan imaji tersbut. Hal ini tampaknya berlaku bagi hampir semua komunikan yang menonton acara tersebut, apalagi jika figur artis yang ditampilakan adalah seorang remaja, maka berbondong-bondonglah komunikan remaja meniru gaya rambut artis tersebut. Dapat dikatakan bahwa, di bawah kontrol “tabung elektron” ini masyarakat menganggap tayangan tersebut adalah sebuah realitas, sementara dirinya adalah ilusi dari ketidaksempurnaan, hasil persepsi dari realitas semu yang dihadirkan televisi. Baudrillard dalam tulisannya tentang simulacrum mengungkapkan empat fase dari proses pengaburan antara imaji dan realitas yaitu [1] imaji merefleksi realitas dasar, [2] imaji menutupi dan merusak realitas dasar, [3] imaji menutupi ketiadaan realitas dasar dan [4] imaji menghasilkan ketiadaan hubungan dengan realitas apapun: ini murni merupakan simulcarum.

Televisi (varian dari teknologi informasi) merupakan ciri dan penopang bagi eksisnya peradaban modern pascaidustrial. Dalam era kapitalisme lanjut seperti sekarang ini, pencitraan akan sebuah produk akan menentukan apakah produk tersebut akan diminati oleh pasar atau tidak. Tak heran jika alokasi dana untuk membiayai iklan sebuah produk lebih besar dibandingkan alokasi bagi gaji seluruh buruh yang dipekerjakan untuk menghasilkan produk tersebut. Melalui iklan yang ditayangkan di televisi, citra sebuah produk makanan (berbahan dasar ketela pohon) ditanamkan pada komunikannya sebagai satu-satunya makanan ringan yang paling higienis dan bergizi dibandingkan jenis makanan yang sama yang dibuat sendiri atau oleh industri rumahan yang tidak beriklan. Pernahkah kita bertanya mengapa iklan terus ditayangkan berulang-ulang di setiap jeda acara yang sedang kita tonton? Repetisi atau pengulangan akan sebuah kebohongan pada akhirnya akan diterima sebagai sebuah kebenaran baru, terlepas dari kondisi objektifnya. Pada akhirnya produk makanan ringan berbahan dasar ketela yang mengandung banyak bahan perasa sintetis yang tidak baik bagi tubuh jika dikonsumsi berlebihan, yang setiap hari nongkrong di televisi akan lebih diminati ketimbang makananan sejenis yang diolah tanpa bahan sintetis berbahaya tetapi tidak pernah ditampilkan dalam iklan.

Strategi pencitraan yang digunakan oleh kapitalis untuk melariskan produknya, kini juga mulai diadopsi oleh politikus, instansi pemerintah bahkan instusi pendidikan. Berbondong-bondong semua calon presiden mengiklankan dirinya dengan berbagai tampakan di televisi dalam iklan, talkshow maupun debat yang dibuat dengan memakai resep “bersandiwara”. Ada yang menjelaskan multiplitas arti dari inisial namanya yang semuanya refleksi dari ciri pemimpin ideal, ada yang berperan sebagai juru selamat rakyat kecil yang dengan rendah hati menolak ucapan terimakasih dari seorang ibu rumah tangga biasa. Padahal semua calon presiden tersebut merupakan bagian dari pemerintahan lalu yang terbukti gagal membawa aroma kesejahteraan bagi negeri ini. Intitusi pemerintah seperti Depdiknas dengan gencar mempropagandakan sekolah gratis di televisi, sementara hanya 1% dari jumlah seluruh sekolah dasar yang memiliki perpustaakaan yang memadai, belum lagi 200.000 ruang kelas yang tidak layak digunakan untuk proses belajar mengajar, membuktikan iklan ini hanya upaya menutupi ketidakbecusannya dalam mengurusi pendidikan. Institusi pendidikan sebagai dapur produksi pemikiran yang ilmiah juga terjebak dengan logika pencitraan yang menyesatkan ini. Unhas contohnya, yang menggembar-gemborkan jargon “to wards world class university” dengan dukungan tulisan pada bagian belakang kaos pegawai yang dipakai tiap hari jumat “citra unhas 2010”, tak lebih dari sekedar strategi pemasaran produk jasa yang ditawarkan kepada calon pembeli. Pada halaman berita lokal, jargon-jargon di atas kerapkali ditulis berulang-ulang pada tiap berita yang berkaitan dengan Unhas. Padahal realitanya, kondisi laboratorium tempat praktikum sangat mengenaskan, koleksi buku pada perpustakaan yang kurang diperhatikan penambahan koleksi barunya, dan jumlah ruang kelas yang tidak seimbang dengan jumlah mahasiswanya hingga kasus korupsi yang didalangi oleh birokratnya. Semua semboyan tersebut tak lebih dari sekedar politik pencitraan agar “kursi” di unhas laku dijual di pasar.

Televisi yang diterima dengan baik di dalam ruang privasi seseorang juga merupakan penjinak bom “hasrat destruktif” yang handal bagi individu yang teralienasi oleh kerja. Dalam logika pabrik sosial, setiap komponen masyarakat dipandang sebagai “buruh” yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap proses produksi yang dijalankan oleh sebuah perusahaan. Mulai dari pekerja kasar (sering disebut buruh dalam makna sempit), petugas administrasi di perusahaan, dosen, tukang becak hingga ibu rumah tangga termasuk dalam komponen yang mendukung proses produksi kapitalis yang selanjutnya diistilahkan” buruh” dalam konteks pabrik sosial. Jadi keseluruhan komponen ini tergolong sebagai individu-individu yang teraleniasi sepanjang kontribusinya terhadap proses produksi.

Selain sebagai kontributor dalam proses produksi semua individu yang teralienasi juga merupakan pasar yang potensial bagi produk kapitalisme. Produk kapitalisme tidak hanya berupa barang dan jasa yang dijajakan di tiap persinggahan, tetapi juga imaji-imaji yang diproduksi oleh stasiun TV untuk memenuhi hasrat konsumtif dan menjinakkan hasrat destruktif yang merupakan sifat alami dari manusia. Setelah lelah bekerja selama 8 jam, seorang pekerja dengan senang hati menonton televisi yang menawarkan berbagai macam hiburan, di ruang keluarga untuk menghilangkan kebosanannya akan kemonotonan hari yang dijalaninya. Dari sini, siklus produksi dan konsumsi berlanjut dan komunikan akan terus menjadi objek eksplotasi oleh keserakahan kapitalisme.

Jika kehadiran “tabung elektron” ini dianggap sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari tuntutan gaya hidup manusia modern, adakah cara untuk menghindarkan diri dari teror negatif dari “kotak ajaib” ini? Apakah ada sisi positif dari kehadiran televisi di rumahmu? Mengutip pernyataan Drs. Wawan Kuswandi bahwa tujuan dari media televisi seharusnya sebagai alat informasi, hiburan, kontrol sosial dan penghubung geografis, sisi positif televisi mulai tampak diantara tumpukan masalah yang ditimbulkannya. Dengan cepat kita dapat mengetahui bencana tsunami yang dialami masyarakat aceh sehingga kita dengan tanggap mengirimkan bantuan ke lokasi bencana. Manusia sejatinya memiliki minat yang besar terhadap seni sebagai refleksi kejiwaannya. Aktivitas seni dapat diartikan sebagai penciptaan karya seni maupun apresiasi terhadap karya tersebut, terlepas dari keliahan kapitalisme yang mengkomodifikasi seni sebagai bahan jualannya. Untuk aktivitas seni yang terkahir ini biasanya disajikan dalam bentuk hiburan dan dapat dimediasi oleh televisi agar seseorang dapat mengapresiasi seni yang ia sukai. Kita dengan mudah mengetahui ketimpangan pada berbagai aspek yang terjadi di masyarakat dan apa penyebabnya, melalui informasi yang disintesa oleh televisi, yang menjadi referensi awal untuk mengadirkan solusi nyata bagi persoalan tersebut.

Namun pada kenyataannya program-program yang disajikan oleh stasiun televisi pada hari ini jauh dari tujuan yang dipaparkan di atas. Hal ini dikarenakan televisi juga memiliki corak pabrik kapitalisme yang mengutamakan keuntungan di atas segalannya. Sebuah program acara dengan nilai edukasi yang mampu memperluas wawasan tetapi dinilai oleh lembaga survey memilki rating rendah karena rata-rata jumlah pemirsa (audience share) rendah akan dihapuskan dari program acara bahkan pada tataran pengajuan oleh production house (PH)/produser, acara jenis ini akan ditolak, jika pengiklan tidak tertarik memasang iklan pada acara tersebut. Yang terjadi malah sinetron “cengeng”, info-tai-men sampah, reality show palsu dan upacara pemakaman Jacko yang sama sekali tak penting, berjaya pada jam-jam prime time dengan bergelimang iklan, sehingga perkatan seorang kawan “sekarang bukan nonton sinetron diselingi iklan, tapi nonton iklan yang diselingi sinetron” menjadi benar adanya, jika melihat panjangnya durasi iklan ketimbang potongan adegan dari sinetron yang disajikan. Melihat kenyataan ini, saya menjadi sepakat dengan judul sebuah buku “matikan tv mu!”, -kutambahkan-walaupun hanya untuk satu hari saja. Berhenti mengkonsumsi imaji yang tidak pernah ada! Segala yang ada di televisi adalah ilusi dan dirimu adalah realitas sebenarnya! (fhr_ald).

Tidak ada komentar: