Sabtu, 15 Agustus 2009

Beberapa baris tentang barisan OSPEK

Hembusan udara dingin dari mesin air conditioner di ruang kuliah pada salah satu fakultas termuda di Universitas Hasanuddin ini, sudah cukup untuk membuat hampir semua anak muda dengan kepala botak itu, lelap dalam tidur di sela-sela celoteh senior mereka. Karisma senior yang mengangkang di depan mereka tampaknya tak cukup untuk membuat melek mata yang lelah akibat begadang mempersiapkan perlengkapan yang tak kalah ramenya dengan perlengkapan seorang badut. Teriakan dan hentakan pada meja sesekali membuka kelopak mata yang hitam dan serta-merta kebisuan menyelimuti ruangan. Setelah ketegangan mereda, senior tersebut kembali mengoceh ke sana kemari, mulai dari heroisme mahasiswa sebagai agent of change hingga dongeng tentang kebesaran kampus merah Unhas. Ritual ini terus berlangsung tiap kali kampus kedatangan mahasiswa baru (maba) dan selalu diwarnai dengan intimidasi, pemaksaan, tindak kekerasan, pemerasan hingga kadang-kadang pelecahan. Skenario yang entah siapa yang pertamakali merancangnya terus diperankan dengan sempurna oleh semua panitia dan seni-or, polanya sama, hanya berganti person yang akan memerankan berbagai karakter skizofrenik, tergantung angkatan berapa yang punya giliran mainkan lakon ini.

Kampus sebagai dapur tempat meramu berbagai materi ilmiah dan melahirkan banyak pribadi intelktual, tenyata sampai saat ini masih terjebak dalam ritual kuno berbau feodal yang sudah lama ditinggalkan peradaban tempat ia dibesarkan selama ini. Ospek yang kental aroma perpeloncoannya tidak lain mengadopsi ritual purba yang dilakukan oleh Suku Thonga di Afrika Selatan, salah satu suku tertua yang masih memelihara tradisi perpeloncoan untuk anak lelaki yang ingin mendapatkan pengakuan sebagai seorang lelaki dewasa. Ketika seorang bocah telah berusia antara 10 hingga 16 tahun, dia dikirim oleh orang tuanya di “curcumcision school” yang diselenggarakan tiap 4 atau 5 tahun sekali. Ritual inisiasi ini dimulai dengan berlarinya setiap bocah dalam garis panjang yang di sana telah berbaris para lelaki dewasa yang akan memukuli mereka dengan tongkat kayu di sepanjang perjalanan. Di akhir perjalanan, baju sang bocah akan dilucuti dan rambutnya dicukur habis. Dia lalu harus menjalani tiga bulan masa inisiasi untuk menjalani enam ujian utama: dipukuli (oleh lelaki dewasa yang telah dilantik), bertahan dalam cuaca dingin tanpa baju dan selimut, kehausan, makan makanan yg sungguh tak enak & layak, dihukum (semisal dengan meremukkan jari ketika ketahuan melanggar aturan), dan terancam tewas selama menjalani ritual. Semua ritual ini dimksudkan untuk mempersiapkan anak yang bernjak dewasa ini untuk maju di medan perang. Apakah mahasiswa memang dipersiapkan untuk melatih kekuatan fisiknya di medan laga? Sama sekali tidak, kampus bukanlah medan peperangan dengan bau amis darah dan terror teriakan musuh yang menahan rasa sakit tertusuk tombak.



Aksi kekerasan yang beramai-ramai dilakukan oleh orang dewasa dalam ritual suku Thonga sangat mirip dengan pemukulan yang kerap dilakukan senior di sela-sela rangkaian kegiatan Ospek. Pencukuran rambut yang dilakukan setelah tindakan pemukulan dalam salah satu segmen ritual kepunyaan suku di afrika ini, juga dilakukan oleh panitia pelaksana ospek kepada maba. Upacara merendam maba saat bina akrab pun mirip dengan tujuan ritual “curcumcision school” yang melucuti baju bocah dan dibiarkan nginap di alam terbuka yaitu membuat maba dan bocah tersebut kedinginan. Ospek sungguh bagai sebuah sirkus modern dengan menganut gaya usang ala Thonga.



Hal ini kian diperparah dengan kemiskinan metode dalam mengelola acara penyampaian materi ospek yang mutlak sama seperti penyampaian materi kuliah yang membosankan oleh dosen. Kegiatan ini masih berupa cetak biru dari proses perkuliahan yang berjalan satu arah, di mana ada pemateri yang berceramah dengan berapi-api sementara pesertanya (maba) terus mendengarkan dengan jemu dan terus berharap ini akan segera berakhir. Penempatan figur tunggal sebagai sumber referensi satu-satunya dalam kelas terbukti hanya menyisakan sedikit bekas di kepala peserta. Hal ini didukung oleh tata letak komponen kelas yang mengikuti gaya mengajar yang telah 9 tahuh telah dicicipi peserta. Pemateri yang letaknya didepan ruang kelas yang berhadapan dengan peserta menciptakan ketidaksetaraan yang menimbulkan kepasifan pada peserta. Kepasifan tak menghasilkan apa-apa selain bau mulut pemateri yang menghiasi ruang kelas. Walaupun pemateri mencoba membuka kesempatan bertanya, tetap saja di bawah kondisi fisik yang minim dan intimidasi senior, pertanyaan yang muncul tidak betul-betul hadir oleh rasa keingin tahuan peserta, tetapi berasal dari “power of kekepet”, untuk mengakhiri adegan gila ini.



Rutinitas tahunan ini harus segera diakhiri atau paling tidak, dipaksa untuk menemukan bentuk barunya yang lebih “fun”. Karena mahasiswa sebagai pilar utama eksisnya kampus yang ilmiah, tidak pantas mempraktekkan ritual kuno yang tak jauh beda dengan latihan militer. Kita bukan angkatan bersenjata yang dilatih hanya untuk menerima komando dari atasan. Otak yang kita miliki selayakya digunakan untuk menalar sesuatu, kritis terhadap sebuah kondisi, dan menstimulus perlawanan terhadap ketimpangan yang terjadi. Hasrat destruktif mestinya dibebaskan untuk menghacurkan belenggu otoritas yang sok mengatur diri kita. Aksi kekerasan dan intimidasi oleh senior tak lebih dari tindakan seorang “banci”, yang tak mampu memerdekakan hasratnya ketika ditindas oleh seniornya dahulu, dan kini ia mendapat momen yang tepat untuk melampiaskannya kepada maba, sunguh pengecut! Kampus tak butuh itu semua! Kampus butuh teriakan suara lantang di jalanan, sebotol bensin dilengkapi sumbu, spanduk membentang panjang, dan batu yang disiapkan untuk mendarat di kepala babi berseragam coklat.(fhr_ald)

2 komentar:

imaduddin mengatakan...

cerita yang menarik... sayang endingnya seperti balik menghujat semua isi cerita. teriakan lantang, sebotol bensin dan 'pendaratan' batu... sungguh justru seperti kembali k zaman yg dia ceritakan sendiri... ya zaman purba..
Salam...
Selamat...
Semoga...

kapten %jack# mengatakan...

ya, kisah yg menarik, asal-usul kekerasan dikampus yg dilabeli ospek,posma,pengenalan kampus, bla..bla..bla...

sebenarnya banyak cerita sih soal asal-usul nih barang,ada yg memakainya untuk menyalahkan dan adapula yang memakainya untuk membenarkan.

ada prinsip ketidaksetaraan didalam ospek, dimana senior yg posisinya diatas, bisa berbuat sesuka hati ke maba yg posisinya saat ospek ada dibawah. senior kuat:maba lemah, senior benar:maba salah, senior tahu segalanya: maba tidak tahu apa2, senior memberi aba2:maba mematuhi, senior memaki/beri perintah:maba harus tunduk, senior banyak bicara:maba mangut-mangut, maba:banyak bicara:ditempeleng!

praktek otoritarian inipun menjadi bekal awal menjalani dunia kemahasiswaan, maka jangan heran ketika kuliahpun tidak ada yg protes kedudukan dosen/pengajar begitu dominan di kelas.
pun begitu di lembaga kemahasiswaan, bahkan dalam berkehidupan keseharian...

salama'

"tunggu dijalan yang sama saat kalian mengancam kami!!!"